Rabu, 28 November 2007

Fwd: [Republika Online] Shalat Subuh adalah Cahaya


03 Agustus 2007
Shalat Subuh adalah Cahaya

Cahaya merupakan simbol dari pencerahan spiritual. Ilmu adalah cahaya. Iman adalah cahaya. Bekas-bekas basuhan air wudhu di wajah adalah cahaya. Alquran adalah cahaya. Setiap amal saleh yang kita lakukan hakikatnya adalah cahaya. Sejatinya, cahaya spiritual akan membimbing serta menerangi kehidupan manusia, tidak hanya di dunia saja tapi juga sampai ke akhirat kelak.

Di sana, cahaya terang akan memancar dari wajah setiap hamba-hamba beriman yang senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya. Cahaya inilah yang akan membedakannya dari orang-orang kafir nan ingkar. Allah SWT berfirman, Pada hari ketika kamu melihat orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak (QS Al Hadiid <57>: 12).

Pertanyaannya, apa kaitan shalat Subuh dengan cahaya? Di awal telah diungkapkan bahwa semua amal saleh hakikatnya adalah cahaya. Karena shalat Subuh adalah sebentuk amal saleh yang sangat bernilai, otomatis ia pun termasuk cahaya. Cahaya seperti apa? Dalam sebuah hadis dari Buraidah Al Aslami, Rasulullah SAW mengungkapkan, Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan ke masjid di waktu gelap (di pagi hari), dengan cahaya yang sempurna di akhirat kelak. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sungguh mengagumkan hadis ini. Al Mubarakfuri memberi komentar, gBahwa tubuh mereka akan diselimuti, dengan cahaya dari berbagai arah, saat mereka mengalami kesulitan berjalan di atas titian shirath kelak. Simaklah kata-kata kunci di dalamnya, kegelapan yang diikuti cahaya yang sempurna. Kegelapan yang diikuti cahaya terang, bukan cahaya remang-remang, namun cahaya yang kualitas terangnya begitu sempurna. Bagaimana terang benderangnya cahaya yang berada di tengah kegelapan? Semakin pekat kegelapan, semakin benderang pula cahaya yang melingkupinya. Pantas jika Rasulullah SAW mengungkapkan janji ini. Bukankah waktu Subuh, waktu sepertiga malam terakhir, waktu menjalang terbitnya fajar, adalah waktu yang paling gelap dari keseluruhan malam? Saat itu adalah saat terjadinya pertukaran antara malam dan siang. Bulan dan bintang sudah memasuki peraduannya sedangkan matahari belum muncul ke permukaan. Saat itu adalah saat-saat di mana cahaya yang menerangi bumi mencapai intensitasnya yang terendah, hingga Bumi mencapai kegelapan yang sempurna.

Dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT memerintahkan kita untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah. Dalam kegelapan yang sempurna, Rasulullah SAW mengajak kita berjalan ke masjid memenuhi panggilan Ilahi yang terungkap lewat kumandang adzan. Ketika momen itu berlangsung, dalam setiap langkah kaki, Allah SWT akan menggugurkan satu dosa serta mengangkat kita satu derajat (HR Bukhari Muslim). Ketika itu pula, Allah SWT menaburkan cahaya-cahaya terang yang akan menerangi jiwa orang-orang yang memenuhi panggilannya. Tahukah Anda bahwa peristiwa itu terjadi setiap hari, di pagi hari.

Karena tu, Rasulullah SAW mengajari kita sebuah doa, saat kita berjalan ke masjid di waktu malam dan pagi hari, Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya. Di dalam ucapanku cahaya. Jadikanlah pada pendengaranku cahaya. Jadikanlah pada penglihatanku cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya. Jadikanlah dari atasku cahaya, dari bawahku cahaya. Ya Allah berikanlah kepadaku cahaya dan jadikanlah aku cahaya (HR Muslim dan Abu Dawud).

Sepertiga malam terakhir hingga terbitnya fajar, adalah momen-momen yang sangat dahsyat. Seiring hadirnya cahaya-cahaya penerang jiwa, Allah SWT pun menaburkan aneka keberkahan di dalamnya. Betapa tidak, saat itulah para malaikat (yang juga makhluk cahaya) memberi laporan harian kepada Tuhannya, perihal amal-amal yang dilakukan manusia. Malaikat siang dan malaikat malam datang dan pergi kepada kalian pada waktu malam. Mereka berkumpul di waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Kemudian malaikat yang hadir bersama kalian naik ke langit, dan Allah Azza wa Jalla bertanya kepada mereka (walau Allah Maha Mengetahui segalanya), 'Bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?'. Mereka menjawab, 'Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami pun mendatangi mereka ketika dalam keadaan shalat'. (HR Bukhari Muslim).

Siapa pun yang mampu meraih keberkahan ini, maka di akhirat kelak kado istimewa sudah siap menunggunya. Apakah itu? Perjumpaan dengan Allah, Dzat Yang Mahatinggi. Masuk surga itu adalah nikmat yang teramat besar. Namun, kenikmatan surga tiada artinya jika dibandingkan dengan menatap wajah Allah secara langsung. Itulah puncak dari segala puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Rasul sendiri yang menjanjikan hal ini. Dari Jair bin Abdillah, diriwayatkan bahwa ia menceritakan, Ketika kami tengah berada di sisi Nabi SAW, beliau memandang ke arah bulan purnama, lalu bersabda, 'Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini untuk melihat-Nya. Jika kalian sanggup untuk tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelamnya, maka lakukanlah'. Kemudian beliau membaca ayat ini: dan bertasbihlah memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelamnya (QS Thaahaa <20>: 30). (HR Bukhari).

Alasan dikhususkannya shalat Subuh dan Ashar, boleh jadi karena pada kedua waktu itu seseorang nyaman beristirahat. Waktu Subuh meneruskan istirahat malam, sedangkan Ashar adalah waktu beristirahat seusai melakukan berbagai kesibukan pekerjaan. Selain itu, siapa pun yang istikamah menjaga kedua shalat ini, biasanya mampu pula menjaga shalat fardu pada waktu-waktu lainnya.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=302354&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Temukan Solusi dengan Shalat Berjamaah



31 Agustus 2007
Temukan Solusi dengan Shalat Berjamaah

Allah dan Rasul-Nya sangat mencintai orang-orang yang istikamah menunaikan amal-amal yang diwajibkan, lalu menyempurnakannya dengan amal-amal yang tambahan yang disunnahkan. Semakin kita bersungguh-sungguh "mengejar" amal-amal yang Allah sukai, semakin lebar pula pintu-pintu pertolongan yang akan Dia bukakan untuk kita.

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman, Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, dan jika ia meminta perlindungan niscaya Aku lindungi." (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Ada janji yang Allah SWT sampaikan kepada segenap hamba-Nya, bahwa ketika Allah telah mencintai seorang hamba, maka ia akan senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Sebuah hadits dari Abu Hurairah menguatkan hal ini, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril, lalu berfirman: 'Aku sungguh mencintai si Fulan, cintailah ia!'. Maka ia pun dicintai penghuni langit. Kemudian ia diterima di bumi. Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba, maka Allah akan memanggil Jibril, lalu berfirman: 'Aku sungguh membenci si Fulan, bencilah ia!'. Maka, Jibril pun membencinya dan berseru kepada penduduk langit, 'Sungguh, Allah membenci si Fulan, maka bencilah ia'. Lalu ia pun dibenci penghuni langit. Kemudian ia mendapatkan kebencian di bumi. (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Betapa dahsyat konsekuensi yang diterima seorang hamba ketika Yang Mahatinggi sudah mencintai dirinya. Terkait bahasan ini, serta jika merujuk keterangan di atas, salah satu cara cepat meraih pertolongan Allah adalah dengan menjaga shalat lima waktu, tepat waktu, berjamaah, dan dilakukan di masjid.

Sesungguhnya, tugas manusia di dunia adalah taat dan tunduk patuh kepada-Nya. Konsistensi kita dalam menunaikan shalat berjamaah adalah sebentuk ketaatan kita kepada perintah Allah. Ketika ketaatan itu dijalankan sepenuh hati, Allah pasti akan membukakan banyak kebaikan dari ketaatan tersebut. Oleh karena itu, kita jangan heran, kalau ada banyak kebaikan yang akan kita dapatkan dari shalat berjamaah tersebut.

Solusi, sebuah proses
Menurut tinjauan psikologis, orang yang bersama-sama itu memiliki peluang lebih besar untuk menyelesaikan masalah secara cepat dan akurat daripada orang yang sendirian. Mengapa? Salah satu sifat manusia itu adalah care atau perhatian kepada orang lain. Sudah menjadi naluri kita untuk senantiasa memperhatikan wajah dan karakter orang lain. Oleh karena itu, ketika seseorang yang tengah dirundung masalah, kemudian mau berkumpul dengan orang lain, kemungkinan besar ia akan mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya, apalagi jika di antara mereka sudah saling kenal. Tidak hanya itu, konsentrasi yang bersangkutan pun akan terbagi, fokus perhatiannya kepada masalah tidak lagi seratus persen. Siapa pun kita, ketika bersama orang lain, pikirannya tentang masalah pasti berkurang, akan ada 25-30 persen perhatian kita yang tertuju kepada orang lain. Dengan demikian, celah-celah solusi akan terbuka. Jika awalnya beban kita seratus persen, maka 25 persen perhatian kita kepada orang akan membukakan pintu solusi.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya bisa merujuk kepada ilmu tentang otak. Shalat berjamaah bisa memperbaiki kinerja sistem aktivasi retikuler. Ketika kita menghadapi permasalahan sendirian, maka seluruh jalur kecerdasan yang ada di otak kita menjadi tertutup. Sebab, ketika itu, masalah yang dihadapi akan mengenai sistem limbik (sistem pengendalian emosi di otak), akibatnya seluruh indra dan akal budi kita (sistem frontalis) akan tertutup, sehingga kita berada dalam keterjebakkan tanpa jalan keluar. Akhirnya, hal-hal yang negatif, seperti prasangka, su'udzan dan keputusasaan akan mendominasi seluruh jalur di pikiran kita. Analoginya seperti nonton film di bioskop dan kita berada di barisan paling depan. Ke mana pun kita melihat, apa pun yang kita pandang, semuanya adalah layar masalah. Padahal, hal ini seharusnya kita balik, ke mana pun kita memandang, di sanalah wajah Allah berada. Bukankah Allah SWT telah berfirman, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah <2>: 115).

Ketika kita berempati kepada orang lain, otomatis jalur-jalur solusi di otak kita akan terbuka. Ketika kita berjamaah, perhatian kita akan terbagi dan berempati, lima persen untuk teman yang ada di samping kita, lima persen untuk teman di depan kita, lima belas persen untuk imam, dan seterusnya. Nah, ketika pikiran kita sudah terbagi, dan tidak terfokus pada kedaaan yang menakutkan, biasanya kecerdasan kita akan muncul kembali, ada celah yang terbuka, walau pun hanya satu persen, bagaikan secercah cahaya di gelapnya gulita malam. Jadi, shalat berjamaah itu merupakan solusi dari permasalahan hidup dari segi bio-psikologi (otak dan psikologi).

Oleh karena itu, ketika kita dirundung masalah yang sulit dicari jalan keluarnya, cepat-cepat ambil air wudhu, bersegeralah pergi ke masjid (terlebih jiwa waktu shalat fardhu sudah tiba), lalu tunaikan shalat sepenuh kesadaran. Insya Allah, dengan cara tersebut, Allah SWT akan membukakan pintu-pintu pertolongan-Nya, salah satunya dengan melancarkan kembali sistem aktivasi reticuler di otak kita. Bukankah pertolongan Allah itu senantiasa menaungi orang-orang yang berada di dalam jamaah?


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=305310&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Raih Kedamaian Amal Saleh



07 September 2007
Raih Kedamaian Amal Saleh

Amal saleh akan mengundang rahmat Allah SWT dan mendatangkan rasa damai dalam jiwa. Sebaliknya, amal salah (maksiat) akan mendatangkan keresahan dalam hati dan menjauhkan rahmat dan pertolongan-Nya.

SUNGGUH beruntung dan berbahagia orang-orang yang mampu menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang saleh ('ibadillah ash-salehin). Betapa tidak, setiap hari mereka disebut dan didoakan dalam shalat kaum Muslimin, termasuk diri mereka sendiri, dengan doa tahiyat semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh (assalamu 'alaina wa'ala 'ibadillahish shalihin).

Bagi kaum mukmin, menjadi hamba Allah yang saleh (beramal saleh) merupakan keniscayaan. Amal saleh merupakan buah keimanan. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak diikuti dengan amal saleh. Dalam Alquran, kata iman hampir senantiasa digandengkan dengan kata amal saleh, seperti dalam QS Al-Ashr ayat 2, Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.

Dalam surat tersebut ditegaskan, orang yang tidak akan merugi hanyalah mereka yang beriman dan beramal saleh--serta saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Contoh lain dalam QS. At-Tin ayat 6, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

Secara sederhana, amal saleh adalah perbuatan baik, yakni perbuatan yang diwajibkan, disunahkan, dan dibolehkan dalam ajaran Islam. Perbuatan itu menimbulkan manfaat dan kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Amal saleh juga adalah perbuatan menjauhkan diri dari amal yang haram atau dilarang oleh Allah SWT. Amal salehlah satu-satunya modal dan bekal untuk hidup selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat kelak.

Kata saleh (shaleh) berarti kebaikan atau tiadanya/terhentinya kerusakan, kebalikan dari kata fasid (rusak). Saleh juga diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah perkejaan yang jika dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada; atau bisa juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian (Quraish Shihab, 1997:480).

Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai segala perbuatan yang bermanfaat bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Ahli tafsir Az-Zamakhsyari mengartikan amal saleh sebagai segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Alquran, dan atau sunnah Nabi Muhammad SAW.

SECARA etimologis, amal saleh adalah segala perbuatan yang tidak merusak atau menghilangkan kerusakan. Amal saleh juga adalah perbuatan yang mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain. Dari pengertian itu kita bisa memahami, mengapa Rasulullah SAW menyebutkan dalam hadisnya, Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Amal saleh tidak mendatangkan kerusakan, baik secara fisik maupun mental.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Mendamaikan dua orang yang berselisih secara adil, membantu seseorang untuk menaiki hewan tunggangannya atau memuat barang-barangnya ke atas hewan tersebut, ucapan yang baik, menyingkirkan rintangan di jalan, tersenyum pada sesama, dan berhubungan intim dengan istri/suami adalah amal saleh .

Hadis tersebut kian menjelaskan, amal saleh adalah amal yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kerusakan. Mendamaikan orang berselisih jelas mematikan potensi kerusakan yang ditimbulkan akibat permusuhan--peperangan, aksi kekerasan, penghancuran, dan lain-lain. Perselisihan selalu berpotensi mengundang nafsu merusak lawan.

Menolong orang lain termasuk amal saleh. Manfaatnya bisa dirasakan juga oleh dirinya sendiri. Nabi SAW bersabda, Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama si hamba suka menolong saudaranya. Alquran menyebutkan dua jenis pertolongan yang dibenarkan, yakni saling tolong dalam kebaikan dan takwa ('alal birri wat taqwa), dan dua jenis pertolongan yang tidak dibenarkan, yakni saling bantu dalam permusuhan dan perbuatan dosa ('alal itsmi wal 'udwan).

Sebagai catatan, amal saleh tidak semata-mata diartikan perbuatan baik, tetapi merupakan perbuatan baik yang dilandasi iman, disertai niat yang ikhlas karena Allah (bukan karena riya' atau ingin mendapat pujian orang lain), pelaksanaannya sesuai dengan syariat, serta dilakukan dengan penuh kesungguhan.

Amal saleh akan mengundang rahmat dan berkah Allah SWT, juga mendatangkan rasa damai dalam jiwa dan pertolongan-Nya tanpa terduga. Sebaliknya, amal salah (maksiat) akan mendatangkan keresahan dalam hati dan menjauhkan rahmat dan pertolongan-Nya.

SETIAP mukmin tentunya senantiasa berusaha melakukan amal saleh sebagai manifestasi keimanannya. Apalagi makna hakiki iman adalah mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati, dan mengamalkan dengan amal perbuatan (ikrarun bil lisan, tashdiqun bilqolbi, wa 'amalun bil arkan). Setiap mukmin juga harus senantiasa waspada terhadap hal-hal yang merusak amal saleh, misalnya dengki (hasad) yang digambarkan Rasulullah bisa merusak amal sebagaimana api melalap kayu bakar.

Lebih rinci, Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya menyebutkan beberapa sifat atau sikap yang dapat merusak amal saleh (tuhbitul amal). Pertama, sibuk mengurus kesalahan orang lain (istighalu bi uyubil khalqi). Mencari-cari dan membuka aib atau kesalahan orang lain termasuk akhlak tercela yang merusak amal saleh yang telah diperbuat.

Kedua, keras hati (qaswatul qulub). Kondisi keras hati akan menimpa seorang mukmin jika dirinya tidak dapat menghindar sifat-sifat buruk seperti riya, takabur dan hasud. Termasuk keras hati adalah tidak mau menerima kebenaran dan nasihat baik. Ketiga, cinta dunia (hubbud dunya), yakni menjadikan harta dan kedudukan atau hal duniawi lainnya seperti pujian dan popularitas--sebagai tujuan, bukan sarana.

Keempat, tidak punya rasa malu (qillatul haya) sehingga merasa ringan dan tanpa beban saja ia melanggar aturan Allah (maksiat). Setiap mukmin pasti punya rasa malu, karena malu memang sebagian dari iman (hadis), utamanya malu kepada Allah SWT. Rasa malu akan mendorong perbuatan baik. Sebaliknya, ketiadaan rara malu akan mendorong orang berbuat sekehendak hati tanpa mengindahkan syariat-Nya.

Kelima, panjang angan-angan (thulul amal), yakni sibuk berangan-angan, berkhayal, tanpa usaha nyata. Keenam, berbuat aniaya (zhalim), yakni perbuatan yang mendatangkan kerusakan bagi diri sendiri dan orang lain, tidak proporsional, dan melanggar aturan. Berbuat dosa termasuk aniaya, yakni aniaya terhadap diri sendiri. Semoga kita senantiasa berusaha dan diberi hidayah oleh Allah untuk menjadi pelaku amal saleh. Amin! Wallahu a'lam.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=306100&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Pentingnya Introspeksi Diri



26 Oktober 2007Pentingnya Introspeksi Diri

SETIAP manusia beriman meyakini adanya kehidupan setelah kematian, yakni alam akhirat. Kehidupan di alam akhirat merupakan kehidupan hakiki dan abadi. Kehidupan di dunia ini hanyalah persinggahan untuk menuju alam akhirat. Oleh karenanya, setiap Mukmin tidak akan menyia-nyiakan kesempatan hidup di dunia ini dengan perbuatan sia-sia, apalagi mendatangkan dosa dan murka Allah SWT.

Keyakinan terhadap adanya alam akhirat menjadi motivasi utama bagi amal shaleh, yakni perbuatan baik sesuai dengan garis yang ditentukan dalam syariat Islam. Keyakinan akan adanya alam akhirat itu pula yang bisa memunculkan sikap ikhlas dalam setiap perbuatan karena yakin Allah SWT akan memberinya imbalan setimpal (pahala). Sebaliknya, keyakinan akan adanya alam akhirat pula yang bisa memotivasi seorang Mukmin untuk menghindari perbuatan tercela. Pasalnya, jikapun balasan dosa tidak diturunkan Allah di dunia, pastilah di akhirat kelak murka-Nya akan ditunjukkan.

Di alam akhirat kelak, setiap anggota badan kita akan berbicara dan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan, sedangkan mulut kita terkunci. Dengan demikian, di akhirat kelak tidak ada tempat bagi dusta, kepalsuan, atau kepura-puraan.

Hidup di dunia sebentar saja, sekadar mampir sekejap mata. Namun, waktu yang sebentar itu pula yang bisa menjerumuskan seorang anak manusia ke jurang kehinaan dan kecelakaan dunia dan akhirat. Hal itu karena godaan kenikmatan duniawi sangatlah menggiurkan sehingga bisa meluruhkan kekuatan iman. Allah SWT memang menguji manusia dengan memberikan "hiasan" pada dirinya berupa kesenangan syahwat terhadap wanita, harta benda, dan jabatan. Saat memenuhi hasrat kesenangan itulah manusia sering melanggar batas yang sudah ditentukan Allah SWT. Kelemahan iman, kekeringan rohani dari cahaya kebenaran Islam, dan bisikan syetan merupakan penyebab utama manusia terjerumus ke jurang kenistaan.

Alquran Surat Al-Hasyr ayat 18 di atas merupakan peringatan sekaligus bimbingan Allah SWT agar kita melakukan introspeksi atau evaluasi diri, merenungkan tentang apa-apa yang telah kita perbuat dan menilai sejauh mana amal yang telah kita kerjakan untuk persiapan sebagai bekal di akhirat nanti.

Sudah seharusnya, setiap Muslim senantiasa mengingat ayat tersebut dan mengamalkannya dengan sepenuh hati, untuk memahami realitas diri. Bagaimanapun, kehidupan akhirat bagi seorang Muslim lebih penting ketimbang kehidupan dunia, sebab alam dunia ini sifatnya fana alias tidak kekal, sedangkan kehidupan akhirat adalah abadi (baqa). Allah SWT mengingatkan, "Dan kehidupan akhirat lebih baik bagimu ketimbang kehidupan dunia".

Dengan atau tanpa sadar, kita harus senantiasa mawas diri dan menjaga diri, barangkali kita selama ini terbuai dengan kehidupan dunia, waktu habis untuk memikirkan dan mengejar kesenangan dunia semata, sehingga mengabaikan persiapan dan melupakan bekal untuk kehidupan kelak di akhirat.

SURAT Al-Hasyr 18 merupakan perintah agar kita sering-sering mengevaluasi amal perbuatan kita: sejauh mana kemusliman kita telah ditunjukkan, sejauh mana keimanan kita telah dibuktikan di hadapan Allah SWT, dan sejauh mana bekal berupa amal saleh telah kita kumpulkan untuk kehidupan akhirat kelak?

Kehidupan dunia merupakan cobaan atau ujian dari Allah SWT bagi umat manusia. Dalam Alquran disebutkan, kehidupan dunia ini adalah untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya (QS Al-Kahfi <18>: 7). Alquran juga menyatakan, kehidupan dunia ini adalah permainan, senda gurau, perhiasan, dan (ajang) adu kemegahan manusia (QS Al-Hadid <57>: 20).

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr <103>: 1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shalih. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Dengan demikian, ayat yang dikutip pada awal tulisan ini, salah satu operasionalisasi-praktisnya adalah kita harus merenung diri, apakah waktu-waktu kita yang telah berlalu itu kita isi dengan amal-perbuatan yang tidak melanggar hukum Allah? Apakah waktu-waktu kita justru diisi dengan amal yang mengabaikan dan melupakan perintah dan larangan-Nya? Apakah waktu-waktu yang kita lalui telah kita isi dengan amal shalih, ataukah dengan kesia-siaan bahkan kemaksiatan? Na'udzubillah.

Sebagai salah satu pedomannya, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin berarti ia termasuk orang beruntung; barangsiapa yang hari ini sama dengan kemarin maka ia termasuk rugi; dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk amalannya ketimbang kemarin berarti ia terlaknat."

Hadis di atas dimaksudkan agar kita senantiasa terus memperbaiki amal, meningkatkan iman dan amal shalih, atau agar kita meningkatkan pemahaman dan pengamalan Islam. Dzikrulmaut (mengingat kematian) merupakan salah satu stimulus bagi kita untuk melakukan introspeksi diri, apalagi kematian bisa datang kapan saja, tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT.

Kalau ternyata amal kita di masa lalu kita rasakan buruk atau penuh noda-dosa, jalan satu-satunya adalah bertaubat; memohon ampun pada Allah, menyesalinya, dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jika masa lalu kita kelam, tentu saja bukan alasan untuk menjadikan kita berputus asa. Karena, Allah SWT telah menegaskan, Katakanlah! Wahai hamba-hamba-Ku yang melewati batas, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Karena sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.  (QS Az-Zumar <39>: 53).

Demikianlah, Allah Maha Pengampun dan Penyayang pada hamba-hamba-Nya. Tentu, sebagai Muslim, kita harus terus berusaha seoptimal mungkin untuk menjadi hamba Allah yang baik. Tidak berpaling dari ajaran-Nya yang sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia. Wallahu a'lam.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=311510&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Sinergi Sabar dan Shalat



13 Juli 2007
Sinergi Sabar dan Shalat

Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat. Demikian sabda Rasulullah SAW ketika memerintahkan ibadah shalat kepada umatnya. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya nilai shalat bagi seorang Muslim, sampai gerakan dan bacaannya dicontohkan secara detail oleh beliau.

Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah gerak dan olah rasa (sensibilitas). Ketiganya terpadu secara cantik dan selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al-bayan), respons motorik, rasionalitas (menempatkan diri secara proporsional), dan kepekaan terhadap jati diri--untuk merasakan cinta dan kasih sayang Allah SWT. Yang menarik, Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar. Misalnya dalam QS Al Baqarah <2> ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Perintah senada terungkap pula dalam QS Al Baqarah <2> ayat 45.

Mengapa sabar dan shalat?
Sebelumnya, mari kita lihat makna sabar. Secara etimologi, sabar (ash-shabr) bermakna menahan (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah (QS Ar Ra'd <13>: 22).

Lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran. Tidak mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak. Jika kita menelusuri hakikat akhlak mulia, maka sabar selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah adalah sabar dengan menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm adalah kesabaran dalam mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas dendam. Demikian pula keutamaan akhlak lainnya. Pengukuh agama semuanya bersumbu pada kesabaran.

Dari sini terlihat bahwa sabar itu cakupannya sangat luas. Sehingga sabar bernilai setengah keimanan. Setengah lainnya adalah syukur. Sabar ini terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan; seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.

Tidak berputus asa saat menghadapi musibah (atau sesuatu yang tidak enak) merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah sabar untuk menjauhi maksiat dan kesabaran berlaku taat. Mengapa demikian? Kesabaran menghadapi musibah disebut kesabaran idhthirari (tidak bisa dihindari). Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar.

Dengan tidak sabar pun, musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar menjauhi maksiat dan sabar dalam taat, keduanya bersifat ikhtiari (bisa dihindari). Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan, bisa melakukan bisa pula tidak.

Dari sini, secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.

Jiwa yang tenang
Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan, melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita harus marah misalnya, maka marahlah secara bijak dan diniatkan untuk mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan hawa nafsu.

Dalam shalat dan proses sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik), inderawi (kecerdasan sensibilitas), aql, dan pengelolaan nafs menjadi motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa yang tenang inilah yang akan memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya (QS Al Fajr <89>: 27-28).

Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah pada akhirnya akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Nilai shalat adalah nilai-nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut (hilm), penyayang, tawakal, merasa cukup dengan yang ada (qana'ah), pandai menjaga kesucian diri ('iffah), konsisten (istiqamah), dsb.

Tak heran jika Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, sebagai media pembangkit energi, sebagai sumber kekuatan, dan sebagai pemandu meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah yang membebaskannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.

Ketika akan menjalani dieksekusi mati, seorang dedengkot kafir Quraisy memberi Khubaib kesempatan untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. Apa yang ia minta? Ternyata, Khubaib minta diberi kesempatan untuk shalat. Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. Selepas itu pengagum berat Rasulullah SAW ini berkata, Andai saja aku tidak ingin dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi shalatku ini!.

Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan ketenangan di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari titipan kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan kepentingan tersebut, shalat akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Komunikasi dengan Dzat Yang Mahakuasa, Pemilik Alam Semesta.

Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT, hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan sekali pun melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pintu pertolongan dari Allah SWT akan terbuka lebar.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=299934&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Hidup Sehat Cara Rasulullah SAW


22 Juni 2007
Hidup Sehat Cara Rasulullah SAW

Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan." HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban

Konon, selama hidupnya Rasulullah SAW hanya sakit dua kali. Yaitu setelah menerima wahyu pertama, ketika itu beliau mengalami ketakutan yang sangat sehingga menimbulkan demam hebat. Yang satunya lagi menjelang beliau wafat. Saat itu beliau mengalami sakit yang sangat parah, hingga akhirnya meninggal. Ada pula yang menyebutkan bahwa Rasul mengalami sakit lebih dari dua kali.

Berapa pun jumlahnya, dua, tiga atau empat kali, memperjelas gambaran bahwa beliau memiliki fisik sehat dan daya tahan luar biasa. Padahal kondisi alam Jazirah Arabia waktu itu terbilang keras, tandus dan kurang bersahabat. Siapa pun yang mampu bertahan puluhan tahun dalam kondisi tersebut, plus berpuluh kali peperangan yang dijalaninya, pastilah memiliki daya tahan tubuh yang hebat.

Mengapa Rasulullah SAW jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan. Jika kita telaah Alquran dan Sunnah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan. Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah SAW sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini. Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dsb.

Cara Rasulullah menjaga kesehatan
Ada beberapa kebiasaan positif yang membuat Rasulullah SAW selalu tampil fit dan jarang sakit. Di antaranya:
Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan thayyib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi. Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air lir dan pencernaan. Rasul bersabda, "Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran" (HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas). Disabdakan. "Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Ketiga, makan dengan tenang, tumaninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan. Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar.

Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua. Biasanya, Rasulullah SAW bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan shalat sampai waktu yang diizinkan Allah. Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan. Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur 8 jam sehari memiliki resiko kematian yang lebih cepat. Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah SAW biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari 8 jam.

Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Allah hingga matanya terasa berat. Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan. Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien. Pada saat itu makanan bisa berada dalam posisi yang pas dengan lambung sehingga dapat mengendap secara proporsional. Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke sebelah kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung. Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk shalat malam.

Kelima, istikamah melakukan saum sunnat, di luar saum Ramadhan. Karena itu, kita mengenal beberpa saum sunnat yang beliau anjurkan, seperti Senin Kamis, ayyamul bith, saum Daud, saum enam hari di bulan Syawal, dsb. Saum adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani. Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai berbagai ampas makanan, manahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa. Saum menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Saum sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.

Selain lima cara hidup sehat ini, masih banyak kebiasaan Rasulullah SAW yang layak kita teladani. Dalam buku Jejak Sejarah Kedokteran Islam, Dr Ja'far Khadem Yamani mengungkapkan lebih dari 25 pola hidup Rasul berkait masalah kesehatan, sebagian besar bersifat pencegahan. Di antaranya cara bersuci, cara "memanjakan" mata, keutamaan berkhitan, keutamaan senyum, dsb.

Yang tak kalah penting dari ikhtiar lahir, Rasulullah sangat mantap dalam ibadah ritualnya, khususnya dalam shalat. Beliau pun memiliki keterampilan paripurna dalam mengelola emosi, pikiran dan hati. Penelitian-penelitian terkini dalam bidang kesehatan membuktikan bahwa kemampuan dalam memenej hati, pikiran dan perasaan, serta ketersambungan yang intens dengan Dzat Yang Mahatinggi akan menentukan kualitas kesehatan seseorang, jasmani maupun ruhani.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=297557&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Menginternalisasikan Basmalah



15 Juni 2007
Menginternalisasikan Basmalah

Setiap amal yang dilandasi basmalah, insya Allah akan baik, indah dan sempurna. Sebab kita meniatkan dan mempersembahkannya untuk Allah. Pantaskah kita memberikan sesuatu yang buruk kepada Allah?

Dari seratus empat belas surat dalam Alquran hanya satu surat yang tidak diawali basmalah, yaitu QS At Taubah <9>. Apa artinya? Basmalah menduduki posisi sangat penting dalam Islam. Ia akan menentukan nilai sebuah amal, apakah bernilai ibadah atau tidak. Sehingga, semua yang kita lakukan harus berlandaskan basmalah. Kita dituntut untuk menggantungkan semua amal perbuatan kepada Allah, serta menghiasi amal-amal tersebut dengan kasih sayang.

Secara syar'i, membaca basmalah hukumnya bisa wajib dan juga bisa sunat. Saat menyembelih hewan misalnya, membaca basmalah hukumnya wajib. Jika tidak diucapkan maka daging hewan sembelihan menjadi tidak halal. Dalam situasi khusus, misalnya saat suami dan istri hendak beribadah, maka basmalah harus diucapkan. Basmalah pun hukumnya bisa sunat, misalnya saat kita makan dan minum. Ketika kita tidak mengucapkannya, makanan dan minuman yang kita konsumsi statusnya tetap halal.

Makna basmalah
Dilihat dari susunan katanya, basmalah berisi kata bi yang artinya dengan, dan kata ismillah yang artinya menyebut nama Allah. Dalam kaidah lughah, kata bi itu harus ada muta'alif-nya, seperti misalnya dengan pulpen. Apa yang dengan pulpen? Artinya menulis dengan pulpen. Contoh lain dengan sendok. Apa yang dengan sendok? Makan misalnya, berarti memakan dengan menggunakan sendok.

Nah, dalam kalimat basmalah, Dengan menyebut nama Allah, di mana letak muta'alif-nya atau sebelumnya? Para ulama mengondisikan muta'alif itu sesuai dengan situasi tertentu. Misalnya saat makan kita mengucapkan basmalah, maka artinya kita sedang makan dengan menyebut nama Allah. Muta'alif itu sendiri berati amal yang mengiringi kata dengan atau bi.

Allah adalah lafdu jalallah; artinya Allah adalah lafadz yang sangat agung. Dalam bahasa Arab, lafadz Allah tidak memiliki asal kata. Kita tahu unsur kata Allah bukan dari buatan manusia namun langsung dari Allah sendiri. Karena itu, kata Allah inilah yang disebut sebagai lafadz yang sangat agung. Bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sangat agung, maka kita paham bahwa setiap kali mengucapkan basmalah, maka kita memulai ucapan dengan nama yang teramat agung yaitu Allah.

Dalam basmalah termaktub dua asma' Allah teragung, yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Walau ada sembilan puluh sembilan nama Allah, namun hanya Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim atau Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang yang disebutkan. Mengapa? Sebab dua sifat ini yang mendominasi dan paling umum. Dilihat secara bahasa untuk setiap kata-katanya, Bismillah, lalu Ar-Rahmaan, kemudian Ar-Rahiim. Arti dari kalimat pertama adalah Dengan menyebut nama Allah. Kalimat berikutnya, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hal ini membuktikan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.

Penyebutan Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini mengandung dua konsekuensi. Pertama, kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini adalah hak prerogatif Allah. Dia berkehendak menyebutkan namanya sesuai dengan Alquran dan hadis. Kedua, dengan kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, Allah seakan memperkenalan Diri kepada makhluk-Nya agar mereka lebih dekat dan lebih jelas dalam mengenal Dzat Pencipta.

Hikmah basmalah
Pengucapan basmalah dengan penuh pemahaman, akan melahirkan efek yang luar biasa. Ketika kita mengawali aktivitas dengan basmalah, kita akan merasa disertai Allah. Semua yang kita lakukan pun akan bernilai ibadah. Dengan basmalah kita pun bisa bersyukur kepada Allah. Betapa tidak, dengan kasih sayangnya kita bisa hidup dan menikmati hidup. Ketika melakukan suatu kegiatan yang diawali basmalah, kita harus meyakini bahwa aktivitas tersebut terjadi karena izin Allah. Kita adalah makhluk lemah yang memerlukan bantuan Allah. Karena itu, setelah kita mengucapkan basmalah, kita pun disyaratkan untuk mengucapkan hamdalah.

Ketika mengucapkan basmalah, idealnya kita harus mengerti, apa basmalah itu dan mengapa ia harus diucapkan. Kita harus paham bahwa selain sebagai perintah agama, basmalah pun memiliki dasar-dasar hukum tersendiri. Jelas satu ayat ini bermakna sangat dalam. Ia termasuk kata mukjizat. Jika kita mengatakannya sepenuh penghayatan, maka kita akan menjadi orang jujur dan amanah serta optimal dalam bekerja. Itulah sebabnya, setiap amal yang dilandasi basmalah, insya Allah akan baik, indah dan sempurna. Mengapa? Sebab kita meniatkan dan mempersembahkannya untuk Allah. Pantaskah kita memberikan sesuatu yang buruk kepada Allah?

Meresapi basmalah
Bagaimana agar kalimat basmalah tersebut terinternalisasikan dalam diri seorang Muslim? Hal ini terkait erat dengan pemaknaan tauhid. Dalam arti bukan sekadar mengenal arti basmalah, tapi juga memahami hakikat yang dikandungnya. Allah SWT berfirman dalam QS Al Mukmin <40> ayat 65, Dialah (Allah) yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Agar basmalah meresap dalam jiwa, maka kita harus ma'rifatullah atau mengenal Allah terlebih dahulu. Lalu meyakininya sebagai prinsip hidup, untuk kemudian menjalankannya secara bertahap. Setelah melewati tahap ini kita ia bisa menjadikan basmalah sebagai ruh kehidupan. Untuk mengenal dan mengetahui Allah itu, medianya adalah Rasulullah. Maka seri mengenal Allah bisa dilakukan melalui seri mengenal Rasul. Dari sanalah kita akan mengenal Allah lebih jauh seperti diungkapkan dalam Alquran dan hadis.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=296726&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Agar Nikmat Membaca Alquran



08 Juni 2007
Agar Nikmat Membaca Alquran

Bagi seorang Muslim, Alquran bagaikan cahaya di tengah kegelapan malam. Ia menjadi petunjuk yang senantiasa dinantikan kedatangannya. Karena itu, merugilah orang yang tidak mengenal Alquran dan sangat merugi orang yang tidak mau mengenal Alquran, padahal ia mengetahui kebenaran dan keagungannya.

Sebaliknya, beruntung orang yang kenal dengan Alquran dan berusaha menjaga hubungannya tersebut agar tetap langgeng. Betapa tidak, kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian hidup akan senantiasa mengikutinya ke mana pun ia pergi. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Kepada kaum yang suka berjamaah di masjid-masjid, mengajarkan Alquran secara bergiliran dan mengajarkannya terhadap sesama, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketenteraman, akan terlimpah kepadanya rahmat dan mereka pun akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan senantiasa mengingat mereka".

Di akhirat pun mereka akan dimuliakan bersama para utusan Allah. Disabdakan, "Orang yang gemar membaca Alquran, lagi pula ia mahir, kelak akan mendapat tempat dalam surga bersama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik; dan orang yang membaca Alquran, namun tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan berat lidahnya (belum lancar), maka ia akan mendapatkan dua pahala" (HR Bukhari Muslim dari 'Aisyah RA)

Tak heran jika Rasulullah SAW "menganjurkan" kita untuk "iri" kepada orang yang hidupnya selalu berinteraksi dengan Alquran. Beliau bersabda, "Ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh orang iri kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah kitab suci Alquran ini, dan dibacanya siang malam; dan orang yang dianugerahi kekayaan harta, siang dan malam kekayaan itu digunakannya untuk segala sesuatu yang diridhai Allah" (HR Bukhari Muslim).

Tatkala kita membaca Alquran dengan kesungguhan, maka saat itulah kita "terhubung" dengan Allah. Karena Alquran adalah tali Allah yang terjulur dari langit ke bumi. Jika membaca saja sudah demikian mulia, apa lagi menghapal, mentadaburi maknanya, serta mengamalkannya isinya dalam kehidupan sehari-hari.

Itulah sebabnya para sahabat menjadikan Alquran sebagai kecintaan. Mereka berlomba-lomba membaca, mempelajari dan mengamalkan kandungan Alquran. Dalam hal membaca misalnya, ada yang meng-khatamkan Alquran dalam sehari semalam, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah SAW menyuruh Abdullah bin Umar agar mengkhatamkan Alquran seminggu sekali. Begitu pula para sahabat seperti Usman bin 'Affan, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan Alquran pada setiap hari Jumat.

Bagaimana agar kita senantiasa rindu, merasa tidak enak jika sehari saja tidak berinteraksi dengan Alquran? Dengan kata lain, bagaimana kita bisa istiqamah berinteraksi dengan Alquran?

Pertama, kita harus memasuki sebuah lingkungan yang di dalamnya terdapat budaya saling mengingatkan, saling menasihati, saling memberikan masukan dalam membaca dan menelaah Alquran. Ketika kita memasuki lingkungan yang di dalamnya saling nasihat-menasihati, saling memantau, maka semangat kita untuk berinteraksi dengan Alquran akan senantiasa terjaga.

Kedua, libatkanlah unsur fisik, akal, dan hati. Alquran adalah pembimbing bagi jasad, akal, dan qalbu. Karena itu, saat kita membaca Alquran, qalbu senantiasa menyakini bahwa yang saya baca adalah firman Dzat Yang Mahatinggi. Akal senantiasa bekerja untuk menghubungan apa yang kita baca dengan perilaku keseharian. Jasad pun diupayakan langsung bereaksi dengan mengaplikasikan apa yang dibaca dalam kehidupan.

Ketiga, bila kita belum mampu memahami kalimat-kalimat dalam Alquran, paling tidak kita harus menanamkan keyakinan dalam diri bahwa apa yang kita baca ini mengandung perintah dan larangan. Sejauh mana kita melaksanakan perintahnya tersebut, serta sejauh mana kita menjauhi larangannya. Kita pun bisa merenungkan peringatan-peringatan yang ada dalam Alquran lalu menghubungkannya dengan aneka macam godaan di dunia. Alquran juga mengandung kabar gembira berupa kenikmatan yang abadi. Kita bisa menghubungkannya dengan kenikmatan-kenikmatan hidup yang ada sekarang ini, sehingga kita tidak tergiur dengan kenikmatan sesaat di dunia, dan melupakan kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.

Inilah adalah salah satu jalan agar kita bisa menjiwai Alquran. Sekiranya belum tercapai, maka yakinilah bahwa kita sedang terkena musibah besar. Jika kita merasa terkena musibah besar, maka kita akan berusaha keluar dari musibah tersebut. Bukankah manusia itu senang hidup bahagia dan takut sengsara dan bencana?


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=295911&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Kekuatan Air Mata



25 Mei 2007
Kekuatan Air Mata

Dibandingkan dengan hewan, hampir semua yang keluar dari tubuh manusia tidak bisa dimanfaatkan, bahkan terkesan kotor. Sebab semuanya terkonotasi sebagai limbah atau sisa-sisa metabolisme tubuh.

Walau demikian, ada satu "benda" yang keluar dari tubuh manusia yang tidak dianggap sebagai kotoran. Orang-orang tidak merasa jijik melihat. Apakah itu? Dialah air mata. Jarang orang merasa jijik dengan air mata. Ketika melihatnya, respons yang timbul malah sebaliknya, jiwa kita bisa terguncang tatkala bulir-bulir air mata--terlebih dari pelupuk mata orang yang kita cintai--berjatuhan. Sebaliknya, orang-orang yang merasa (maaf) "jijik" dengan air mata atau tidak mengeluarkan air mata ketika kondisi "mengharuskannya" menangis, dianggap sebagai orang yang keras hatinya.

Ada kisah tentang seorang pemuda di majelis Rasulullah SAW. Ketika itu para sahabat menangis tatkala Rasulullah SAW menyampaikan untaian-untaian tausiyahnya, bahkan Beliau sendiri menyampaikan nasehatnya dengan suara parau. Namun tidak demikian dengan sang pemuda, tak setetes pun air mata keluar dari kelopak matanya. Ia sendiri merasa aneh, sehingga menanyakannya kepada Rasul. Sebabnya, menurut Rasulullah SAW adalah kerasnya hati. Beliau kemudian menguraikan hal-hal yang saling bertaut hingga mengeraskan hatinya. Semuanya bermuara dari terlalu cinta dunia hingga melupakan akhirat.

Sesungguhnya, Allah SWT tidak pernah keliru menciptakan sesuatu. Dari tetesan-tetesan air mata ini saja, terkandung berjuta makna yang menyiratkan kasih sayang dan kemahaluasan ilmu Allah. Setidaknya ada dua fungsi penting air mata bagi manusia.

Pertama, untuk melindungi dan menjaga kesehatan mata. Apa jadinya kalau mata kita tidak mengeluarkan air? Pasti tersiksa. Kita tidak akan macet sehingga tidak bisa mengedip. Akibatnya, benda-benda dari luar akan berlomba memasuki mata, mulai dari udara, radiasi cahaya, debu, bakteri, virus, dsb. Mata pun akan terasa perih, panas dan sakit. Jika dibiarkan, kerusakan mata tinggal menunggu waktu saja. Dengan air mata pula mata kita terjaga kelembabannya serta terpenuhinya kebutuhan mata akan zat-zat yang diperlukan. Sebab air mata mengangkut unsur asam dan zat gizi ke mata. Air mata pun menjadi sarana untuk mengeluarkan unsur-unsur garam dalam tubuh.

Kedua, sebagai alat komunikasi serta pengekspresian emosi. Ketika seorang manusia lahir, hingga beberapa masa tertentu, air mata yang mengiringi tangisan menjadi alat komunikasi utama. Air mata sangat ampuh untuk menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan air matalah seorang anak bisa "memaksa" sang ibu untuk memberikan air susu serta aneka perhatian.

Sebagai sarana mengekspresikan emosi, tetesan air mata mengkomunikasikan sejumput pesan dengan makna-makna tertentu. Ia mengekspresikan suasana hati yang terdalam, entah sedih, gembira, takut, atau sakit. Sehingga nilai air mata begitu istimewa, khusus, serta berkesan. Bukankah hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi? Maka jangan heran, jika air mata bisa meluluhkan hati yang keras, serta menaklukkan sesuatu yang tidak bisa ditaklukkan dengan pedang.

Sesungguhnya, air mata pun bisa menjadi alat komunikasi yang sangat canggih antara seorang hamba dengan Tuhannya. Betapa tidak, tetesan air mata di jalan Allah bisa memadamkan kobaran api neraka. Rasulullah SAW bersabda, Tidak akan masuk neraka, seseorang yang menangis karena takut kepada Allah.

Air mata bisa mendatangkan pertolongan Allah di akhirat kelak. Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa ada tujuh golongan manusia yang akan ditolong Allah pada Hari Kiamat, ketika tiada lagi pertolongan selain pertolongan dari-Nya. Salah satunya adalah orang yang menangis di keheningan malam ketika orang-orang terlelap tidur. Ia menangis karena besarnya rasa takut dan harap kepada Allah. Air mata pun bisa mempercepat ijabahnya doa-doa. Efek tetesannya mampu menembus batas-batas dimensi.

Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan, "Takutlah engkau akan doa (termasuk air mata) orang-orang yang dizalimi, sesungguhnya tiada lagi jarak pemisah antara Allah dengan orang tersebut" (HR At Tirmidzi). Terlebih jika yang disakiti tersebut adalah orangtua kita sendiri. Na'udzubillah. Satu tetes saja keluar dari mata mereka, seumur hidup tidak akan bahagia hidup kita, sebelum mereka memaafkannya. Bukankah keridhaan Allah ada dalam keridhaan orangtua?

Itulah sebabnya, Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan air mata sebagai "bahasa sehari-hari" tatkala berinteraksi dengan Allah SWT. Tiada sehari pun yang mereka lewatkan tanpa menangis. Menangis bukan karena tak punya harta, kehilangan harta, atau sesuatu yang terkait dengan urusan duniawi. Mereka menangis karena cinta yang begitu besar kepada Tuhannya. Cinta yang bersumber dari kuatnya raja' (harapan akan ridha dan kasih sayang Allah) yang terpadu dengan khauf (rasa takut akan murka Allah).

Karena efeknya yang sangat dahsyat, mereka pun sangat menjaga sikap dan tingkah lakunya, agar jangan sampai menzalimi orang lain. Mereka sangat takut jika air mata orang-orang yang terzalimi mendatangkan murka Allah kepadanya. Boleh jadi, inilah yang memotivasi Khalifah Umar bin Khathab untuk memanggul sekarung gandum dari Baitul Mal, ketika ia melihat seorang ibu dan anak-anaknya--yang notabene adalah rakyatnya--kelaparan. Begitu hebat efek dari air mata.

Dilihat dari perspektif ini, tak heran air mata menjadi dijadikan barometer untuk mengukur kadar keimanan seseorang. Ada banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah SAW yang mengungkapkan keutamaan menangis. Dalam Alquran misalnya, Allah menyifatkan orang-orang yang berilmu sebagai mereka yang apabila dibacakan ayat-ayat Allah, menyungkurkan muka mereka (bersujud) sambil menangis dan bertambah khusyuk (QS Al Israa' <17>: 109). Dalam ayat yang lain, Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis (QS Maryam <19>: 58).

Rasulullah SAW pun bersabda, "Setiap mata akan menangis di hari kiamat kelak, kecuali mata yang menangis karena takut kepada Allah, mata yang terpelihara dari hal-hal yang diharamkan Allah, serta mata yang berjaga di Jalan Allah.

Tidak salah jika kita mencucurkan air mata. Namun ketahuilah, air mata yang paling berkualitas, adalah air mata yang keluar karena harap dan takut kepada Allah, bukan air mata karena mendapat promosi jabatan, bukan air mata karena gagal menjadi idola, dsb. Sebab, itulah air mata keimanan.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=294367&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Membagi Waktu



11 Mei 2007
Membagi Waktu

Banyak orang mati-matian memanfaatkan waktunya untuk mengejar dunia, padahal ia tidak tahu kapan ia bisa menikmati jerih payahnya tersebut. Boleh jadi ia mendapatkan sejumlah besar uang, tapi ia tidak tahu kapan bisa merasakan nikmatnya uang tersebut. Karena itu, Al-Quran mengulang-ulang akan pentingnya waktu agar manusia tidak sampai melalaikannya.

Menunda-nunda adalah satu penyakit kronis manusia yang sangat berbahaya. Ia menangguhkan sebuah amal karena berpikir bahwa amal tersebut bisa dikerjakannya esok hari. Padahal, dengan menunda ia akan menyesal ketika tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan tersebut dilain waktu. Harta hilang mungkin bisa dicari. Namun jika waktu yang hilang, sedikit pun tidak akan pernah bisa diganti. Kerugian menunda tidak sekadar di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Seseorang akan melihat bekas-bekas waktu yang ia lewati tanpa ada amal kebaikan di dalamnya. Walau hanya satu menit, akan terlihat bekasnya. Menit ini terisi, menit ini kosong, menit ini hitam, merah, atau putih, semuanya akan terlihat jelas.

Karena itu, Rasulullah SAW selalu menasihati para sahabat agar tidak menunda amal yang bisa segera dikerjakan. "Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. Pertama, kehidupanmu sebelum datang kematianmu. Kedua, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ketiga, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Keempat, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Kelima, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu." (HR Hakim).

Dilihat dari "pelakunya", ada dua tipe penunda pekerjaan yang dapat diidentifikasi, yaitu tipe penggerak dan tipe penghindar. Tipe penggerak selalu menunda pekerjaan karena menyukai ketegangan dalam menyelesaikan pekerjaan secara terburu-buru dan di akhir waktu. Sedangkan tipe penghindar, selalu menunda pekerjaan untuk menghindar dari berbagai sebab, mulai dari takut gagal sampai keinginan untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Orang seperti ini sangat percaya kalau mereka akan lebih baik tidak mencoba daripada mencoba dan gagal.

Kedua tipe ini sama tidak baiknya. Yang pertama cenderung mudah terkena stres sehingga hasil pekerjaannya tidak maksimal. Sedangkan yang kedua cenderung gagal, sulit berkembang, dan akan menyesal di akhir. Kenapa saya tidak mencobanya? Kalau seandainya saya melakukannya sejak dulu, nanti saja, 'kan masih ada waktu! dsb, adalah kata-kata standar yang biasanya diucapkan orang yang menunda pekerjaan dan selalu takut mencoba hal yang baru.

Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi, ada beberapa alasan yang menyebabkan Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Pertama, kita tidak dapat menjamin untuk bisa hidup sampai esok hari. Boleh jadi sekarang kita hidup, tapi siapa tahu esok atau lusa kita mati.

Kedua, selain kita tidak dapat menjamin tetap hidup esok hari, kita pun tidak akan bebas seratus persen dari gangguan-gangguan seperti penyakit ataupun kesibukan-kesibukan baru. Pantas kalau Rasulullah SAW mengatakan, "Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain: masa hidupmu sebelum datang kematianmu; masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu; masa luangmu sebelum datang masa sibukmu; masa mudamu sebelum datang masa tuamu; dan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu." (HR Hakim).

Ketiga, sesungguhnya bagi setiap hari ada aktivitasnya dan bagi setiap waktu ada kewajibanya. Jelasnya, tidak ada waktu yang kosong dari pekerjaan. Ibnu 'Ata berkata, "Kewajiban-kewajiban pada tiap waktu mungkin untuk diganti, namun hak-hak dari setiap waktu tidak mungkin untuk diganti."

Keempat, mengakhirkan pelaksanaan perintah dan menunda pekerjaan yang baik, akan menyebabkan seseorang terbiasa melakukannya, untuk kemudian berurat dan berakar dalam jiwanya hingga membentuk akhlak yang buruk. Dan terakhir, bahwa bekerja itu adalah kebutuhan vital bagi seorang manusia yang hidup. Orang yang tidak mau bekerja atau menunda-nunda pekerjaannya, secara tidak langsung telah "kehilangan hak" untuk hidup.

Sesungguhnya, menunda hanya boleh dilakukan dalam kerangka skala prioritas. Para ulama mengungkapkan beberapa bentuk prioritas, di antaranya: fardhu, wajib, sunnah, atau makruh. Adanya bentuk-bentuk prioritas ini menuntut seorang Muslim agar mampu membagi nilai waktu. Misal, saat bangun tidur. Ketika itu, kondisi kita masih sangat segar dan pikiran masih jernih. Maka, jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang baik tersebut dengan melakukan perbuatan yang bisa dilakukan pada waktu yang lain. Seperti membaca koran atau majalah, itu bisa dilakukan ketika kita sedang capek. Sedangkan untuk tadabur Alquran memerlukan suasana dengan konsentrasi tinggi. Maka gunakanlah wantu yang baik tersebut untuk mengerjakan sebuah aktivitas yang "berat" dan yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Jangan sampai waktu "terbaik" kita habis oleh amal yang ringan.

Kebiasaan menunda wajib dihilangkan dari pribadi seorang Muslim. Sebaliknya, yang harus diperhatikan adalah membaca masa lalu untuk kepentingan sekarang. Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hasyr <59>: 18). Dalam ayat lain disebutkan bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok. …Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok (QS. Luqman <31>: 34).

Jadi bagaimana kita bisa memprogram hari esok dengan pasti? Rencana boleh, tapi bukan sesuatu yang pasti akan terjadi. Intinya, merencanakan masa depan adalah kewajiban kita. Masa lalu harus dijadikan pelajaran, masa sekarang kita jadikan sebagai pengamalan, dan masa depan kita programkan dengan sebaik mungkin, sedang hasilnya ada dalam genggaman Allah SWT.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=292812&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Selektif Memilih Teman



23 Maret 2007
Selektif Memilih Teman
tri

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka adzab yang keras. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al Mujaadilah <58>: 14-15).

Berhati-hatilah memilih teman. Sebab, baik buruknya seseorang sangat dipengaruhi baik buruk teman sepergaulannya. Siapa yang berteman dengan pandai besi, maka ia akan bau bakaran. Siapa bergaul dengan tukang minyak wangi, maka ia akan terbawa harum. Kualitas hidup seseorang terlihat dari kualitas pergaulannya.

Karena itu, Allah SWT memerintahkan kita untuk selektif memilih teman. Jangan sampai kita berteman dengan setan. Sebab, barangsiapa yang mengambil setan menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya (QS An Nisaa' <4>: 38). Maknanya, seseorang bisa tergelincir berteman dengan setan dalam arti sesungguhnya. Dengan sadar ia menjadikan setan sebagai pelindung, penolong, pendamping, serta pemberi kekuatan, sehingga dipandang hebat oleh orang lain.

Berteman dengan setan bisa pula dalam bentuk lain, yaitu bergaul dengan orang-orang yang gemar memperturutkan hawa nafsu, rajin bermaksiat, serta lalai dari mengingat Allah. Akibatnya, mereka sangat jauh dari pertolongan Allah. Ketidakhati-hatian memilih teman, akan berakibat fatal. Menurut Rasulullah SAW, orang itu akan mengikuti perilaku teman karibnya. Teman yang buruk adalah "virus keempat" yang bisa merusakkan hati dan menghancurkan masa depan setelah lalai menjaga pandangan, lisan, dan perut. Ketika seseorang berteman dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah, hampir dapat dipastikan cita-cita, pembicaran, gerak-gerik serta dan hobinya, tidak jauh dari urusan duniawi dan memuaskan nafsu belaka.

Berbeda jika berteman dengan orang-orang yang mengenal Allah. Pembicaraan terkait dunia tidak akan mengotori hatinya. Berteman dengan orang yang mengenal Allah akan melahirkan tawaashau bil haqqi wa tawaashau bish shabr . Mereka akan membantu kita jadi lebih baik, lebih mulia di sisi Allah. Bahkan, setiap kesulitan akan menambah keakraban dan melipatgandakan kesabaran. Pergaulan yang dilandasi rasa cinta kepada Allah akan tampak indah dan sinergis.

Sekali lagi, berhati-hatilah memilih teman. Jika saat ini kita berada dalam lingkungan yang buruk, maka berjuanglah untuk segera hijrah. Bukan untuk meninggalkan segala-galanya, melainkan agar kita memiliki lingkungan yang menambah energi baru untuk menghadapi hidup dengan lebih baik. Sehingga, ketika bertemu orang-orang yang lalai, kita tidak terbawa lalai, melainkan membantu mereka menjadi lebih baik.

Salah memilih pergaulan berarti kita siap menyiksa dan membinasakan diri. Bergaul dengan orang taat dan berakhlak mulia, insya Allah akan membawa kita menjadi orang taat dan berakhlak mulia pula. Semoga Allah Azza wa Jalla menitipkan sahabat-sahabat dan lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas iman dan amal kita. Amin.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=287251&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Makanan Berkah, Keluarga Berkah



02 Februari 2007
Makanan Berkah, Keluarga Berkah

Suatu malam tampak Umar bin Khathab bersama Aslam, asistennya, berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah yang sunyi senyap. Sudah menjadi rutinitas Umar, yang kala itu menjabat Amirul Mukminin, untuk melakukan inspeksi, melihat-lihat keadaan rakyatnya secara langsung. Lama perjalanan membuat lelaki berjuluk Al-Faruq ini kelelahan. Ia pun bersandar di sebuah dinding rumah salah seorang rakyatnya. Rumah itu demikian sederhana. Cukup memberi tanda bahwa sang penghuni bukanlah orang berpunya.

Di antara rasa penat yang menggeliat di antara tulang-tulangnya yang tak lagi sekuat masa mudanya, dan di antara rasa dingin yang menusuk, sayup-sayup terdengar dua orang wanita tengah bercakap-cakap. Setelah didengarkan dengan seksama, tahulah Umar bahwa pemilik rumah itu adalah seorang ibu penjual susu dengan anak perempuannya. "Wahai putriku, ambilah susu itu dan campurilah ia dengan air!

Dengan nada menolak, putrinya menjawab, "Wahai Ibu, apakah Ibu tidak tahu keputusan Amirul Mukminin hari ini? Memangnya keputusan apa yang beliau ambil? Beliau memerintahkan rakyatnya agar tidak menjual susu yang dicampur air. Ambil saja susu itu dan campurkanlah dengan air. Lihatlah, saat ini engkau berada di suatu tempat yang tidak mungkin terlihat oleh Umar, Ibu, tidak mungkin bagiku untuk menaatinya di saat ramai dan mendurhakainya di saat sepi.

Dialog ibu dan anak tersebut telah menyita perhatian Umar bin Khathab. Semuanya terekam dengan amat jelas. Umar lalu bergegas pergi. Sesampainya di rumah, ia segera menugaskan Aslam untuk menemui keluarga itu. "Wahai Aslam, pergilah ke rumah itu, dan selidiki siapa wanita yang menjawab seperti itu dan siap pula perempuan tua yang menjadi lawan bicaranya. Apakah mereka mempunyai suami?

Setelah mendatangi rumah perempuan itu, Aslam segera melaporkan penemuannya kepada Umar, bahwa yang menyuruh mencampurkan susu dengan air adalah ibunya. Sedangkan yang menolak mencampur susu dengan air adalah anaknya yang masih gadis. Sedangkan di rumah tersebut tidak ada seorang pun laki-laki.

Setelah semuanya jelas, Umar lantas memanggil semua anak laki-lakinya. Kepada mereka ia berkata, "Apakah di antara kalian ada yang membutuhkan seorang perempuan yang akan aku nikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih berminat pada seorang perempuan, tentu kalian tidak akan bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis itu.

Abdullah bin Umar, anak sulungnya, berkata bahwa ia tidak berminat karena sudah mempunyai istri. Demikian pula adiknya, Abdurrahman, menjawab sama seperti Abdullah. Barulah Ashim, anak laki-laki Umar yang lain, bersedia menikah dengan wanita pilihan ayahnya tersebut.

Tak lama berselang, Umar mengirim utusan kepada keluarga itu untuk melamar anaknya dan menikahkannya dengan 'Ashim. Lamaran itu pun diterima, hingga terjadilah prosesi pernikahan. Sederhana memang. Namun keberkahan menyelimuti pernikahan putra Amirul Mukminin dengan putri seorang penjual susu. Untaian doa terucap dari keluarga dan para sahabat, " Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakum fi khairan." Sebuah doa yang sangat indah, "Semoga Allah memberkahi kalian, baikan dalam keadaan senang maupun susah, dan senantiasa mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan." (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Allah pun berkenan mengabulkan doa tersebut. Rumahtangga 'Ashim dan istrinya diberkahi Allah. Wanita ini pun melahirkan seorang putri. Pena sejarah mencatat, dari rahim anak perempuan inilah lahir Umar bin Abdul 'Aziz. Seorang pemimpin besar Islam yang digelari Khulafaur Rasyidin kelima. Pada masa pemerintahannya kaum Muslimin mencapai kejayaan dan kemakmuran lahir batin yang sulit mencari tandingannya.

Keberkahan Makanan
Rangkaian fragmen kisah ini sungguh luar biasa. Lihatlah bagaimana sebuah kebaikan berbuah kebaikan, lalu berbuah kebaikan lagi. Berawal dari keinginan untuk jujur dan memperoleh harta halal (walau sedikit), terjadilah sebuah pernikahan yang diberkahi. Dan dari pernikahan ini, lahir keturunan-keturunan mulia yang diberkahi Allah. Keberkahan mereka pun terus menyebar hingga menyentuh generasi-generasi sesudahnya.

Kisah ini menginspirasi agar kita tidak menyepelekan sekecil apa pun amal. Karena kecil dalam pandangan kita belum tentu kecil dalam pandangan Allah SWT. Termasuk dalam hal makan. Namun, saking sering dan rutinnya makan ini, sebagian orang kerap menyepelekan. Padahal dalam makan ada kebaikan yang teramat besar. Sebaliknya, ketika kita salah menyikapinya, maka makan pun bisa membawa kemudharatan yang besar pula.

Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berdoa sebelum makan. "Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa 'adzabannaar. Bismillaahirrahmanirrahiim." Artinya, "Ya Allah berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau limpahkan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (HR Ibnu As Sani).

Dilihat dari susunan redaksinya, makna doa ini sangat luar biasa dan universal. Setidaknya, ada dua pesan utama yang terkandung di dalamnya. Pertama, memohon keberkahan dari rezeki yang telah Allah karuniakan, sehingga kita terpelihara dari aneka keburukan. Apa artinya? Kita makan bukan sekadar menangkal rasa lapar dan memenuhi selera semata, tapi juga untuk menjaga ketaatan kepada Allah SWT. Dengan makan kita berharap bisa konsisten dalam ketakwaan. Dengan makanan kita bisa makin mantap beribadah. Sebab ada yang makan, namun makanan yang dikonsumsinya tidak membawa kebaikan apa-apa, hanya sekadar memenuhi kebutuhan perut belaka.

Kedua, memohon bimbingan Allah dalam aktivitas yang kita lakukan, sehingga setiap amal bernilai ibadah di sisi-Nya. Permohonan ini terangkum dalam kalimat basmalah, Bismillaahirrahmanirrahiim. "Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Dengan demikian, ada dua konsep penting yang senantiasa kita ulang-ulang. Yaitu konsep berkah dan konsep basmalah. Keduanya memiliki makna filosofis yang dalam. Andai saja kita mampu menyelami kedalaman maknanya, lalu mengaplikasikan dalam proses mencari dan menikmati rezeki, maka akan melahirkan efek kebaikan yang luar biasa. Tidak hanya kebaikan di dunia, tapi juga kebaikan hakiki akhirat kelak. Semoga kita mendapatkannya, seperti yang didapatkan Umar bin Khathab, 'Ashim, putri penjual susu, serta anak cucunya, terutama Umar bin Abdul 'Aziz. Amin.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=281214&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Ketika Doa Terhalang Makanan Haram



24 Nopember 2006
Ketika Doa Terhalang Makanan Haram
tri

Tersebutlah seorang lelaki yang telah melakukan perjalanan jauh. Rambutnya kusut masai penuh debu. Ia berjalan tertatih-tatih dengan membawa sebuntal pakaian dan bekal di pundaknya.

Setelah sekian lama berjalan, ia berhenti. Matanya memandang ke langit. Ia teringat Tuhannya. Seketika itu pula tangannya menengadah. "Ya Rabb aku minta pertolonganmu. Ya Rabb aku minta rahmat dan kasihmu. Ya Rabb aku minta keselamatan dari-Mu…,†pintanya berulang-ulang. Ia tampak khusyu berdoa.

Diterimakah doanya? Seorang lelaki mulia berujar, "Sesungguhnya Allah menolak doa lelaki malang itu. Bagaimana doanya akan terkabul, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya dikenyangkan dengan makanan haram!" .

Lelaki yang berkomentar tersebut adalah Rasulullah SAW. Sedangkan kisah ini berasal dari Abu Hurairah yang diriwayatakan Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Ya, makanan haram multi efek sifatnya. Ada banyak kerugian yang akan diderita seseorang yang menyengajakan diri mengonsumsinya. Salah satu siksaan yang Allah SWT timpakan adalah tidak diterimanya doa-doa mereka. Padahal, tanpa doa seorang Muslim tidak ada apa-apanya. Bukankan doa adalah senjata orang-orang beriman?

Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah". Apa jawaban Rasulullah SAW, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya." (HR At-Thabrani).

Memahami mekanisme PNI
Untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana makanan haram bisa menghalangi terkabulnya doa-doa, kita bisa menelaah mekanisme psiko neuroendokrinologi imunologi (PNI) atau sistem yang melibatkan pikiran, hormon dan sistem pertahanan tubuh.

Makanan haram adalah sesuatu yang dilarang Allah. Dalilnya sudah sangat jelas. Bila aturan ini dilanggar dan makanan haram tetap dikonsumsi, maka akan lahir rasa tertekan dan ketakutan dari orang yang mengonsumsinya. Dalam jangka panjang, ketakutan akan menghasilkan kecemasan kronis. Dalam kondisi ini tubuh akan memproduksi hormon kortisol, skotofobin, dan adrenalin dalam jumlah yang berlebihan. Apa akibatnya? Seluruh sel tubuh akan terganggu bioritme-nya. Dengan kata lain, akan terganggu proses bertasbihnya. Kita tahu bahwa setiap sel yang terdiri dari atom dan partikel sub atomik senantiasa bertasbih dan ber- thawaf mengikuti ketentuan-Nya. Kondisi ketergangguan ini akan berdampak pada perubahan proses metabolisme dan proses biokimiawi lainnya. Akibatnya banyak potensi dasar biologis terhambat.

Ketika berdoa, seseorang yang kondisi wujud fisik dan psikologis sedang tidak optimal ini, akan didominasi rasa takut yang berlebihan. Apa akibatnya? Doa yang dipanjatkannya menjadi sarat akan kepentingan sesaat dan egois. Ia pun dihantui dengan ketidakyakinan dan rasa takut berlebihan bahwa doanya tidak akan terkabul. Jadi sudah terjadi proses prasangka atau su'udhzon kepada Allah SWT. Padahal, dalam hadis qudsi disebutkan. "Sesungguhnya Aku akan mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku selalu menyertainya apabila ia berdoa kepada-Ku." (HR Bukhari Muslim)

Dalam hadis lain disabdakan pula, "Dan jika kamu memohon kepada Allah Azza wa Jalla, wahai manusia, mohonlah langsung ke hadirat-Nya dengan keyakinan yang penuh bahwa doamu akan dikabulkan. Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang keluar dari hati yang lala." (HR Ahmad). Jadi dapat disimpulkan, ketakutan dan keresahannya itulah yang menyebabkan doanya tidak tersampaikan dengan sempurna.

Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa mekanisme tobat dapat memperbaiki kualitas hidup dan keimanan seseorang. Proses tobat adalah sebuah proses katarsis atau ventilasi yang merupakan "jendela" atau "pintu" bagi terlepasnya beban psikologis yang ditanggung akibat perbuatan dosa. Tetapi tentu saja proses tobat keberhasilannya juga sangat tergantung pada seberapa dalam keyakinan kita tentang konsep Allah yang Maha Pengampun. Bila kita sudah berprasangka bahwa Allah tidak akan memaafkan, maka jangan berharap kalau tobat kita akan melancarkan segalanya. Justeru malah menjadi beban psikologis baru.

Bagaimana dengan orang yang hanya sekedar ragu tentang kehalalan makanannya? Bila ragu seharusnya dihindari (syubhat). Mengapa? Karena keraguan itu akan menumbuhkan kecemasan. Dan kecemasan pada gilirannya akan menghasilkan kondisi chaos. Karena itu, Rasulullah SAW mewasiatkan agar kita menjauhi hal-hal yang meragukan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, antara keduanya terdapat hal-hal samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal yang samar itu, maka ia telah menjaga agama dan harga dirinya; dan barangsiapa jatuh ke dalam hal yang samar, maka ia telah jatuh kepada hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang, nyaris ia masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja mempunyai daerah larangan. Ketahuilah, sesungguhnya daerah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya." (HR Bukhari Muslim).

Untuk itu, sebelum kita dihisab di akhirat kelak tentang bagaimana kita mensyukuri nikmat Allah dalam hal kemampuan berkomunikasi (al-bayan), maka sebaiknya kita bertanya dan menyelidiki secara intensif kehalalan suatu produk makanan. Bukankah yang akan diperhitungkan kelak di hari akhir tidak hanya sekedar dosa yang disengaja saja, melainkan juga kelalaian kita dalam mencegah terjadinya kemungkaran akan dipertanyakan dan ditimbang?


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=272945&kat_id=105

Fwd: [Republika Online] Agar Marah Sesuai Fitrah



10 Nopember 2006
Agar Marah Sesuai Fitrah

Marah yang sarat dendam disebut amarah. Marah jenis ini cenderung menyakiti. Kata-kata dan perbuatan yang dipilih diwarnai hormon adrenalin yang mendorong proses penistaan dan melahirkan kepuasan melalui sederet kebencian.

Setiap orang pasti pernah marah. Itu normal. Namun menjadi tidak normal bila marah menjadi bencana bagi banyak orang. Apa sih marah itu? Menurut Dr. Finch--seorang psikiater dari Yale University--marah adalah sebuah bentuk ekspresi diri yang sehat, berupa ketidakpuasan terhadap keadaan.

Secara psikologis marah termasuk reaksi pertahanan diri dan ekspresi dari kecenderungan manusia untuk berbuat baik dan bijak (hanif). Sejak di dalam rahim seorang manusia telah belajar mengembangkan konsep diri. Semua manusia tahu apa yang dibutuhkannya dan apa yang "seharusnya" mereka dapatkan untuk hidup. Fenomena marah dapat terjadi bila salah satu persyaratan hidup seorang manusia terganggu.

Pada perkembangan selanjutnya marah berkembang menjadi sebuah cerminan tanggung jawab. Kita marah bila ada sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengapa tanggung jawab? Dalam Islam tanggung jawab identik dengan amanah. Amanah bagi seorang manusia Muslim adalah jati diri sekaligus penentu kehadiran kita di dunia ini.

Diri seorang manusia Muslim adalah "peace keeper", penjaga perdamaian dan regulator sekaligus eksekutor, dan korektor bagi sistem kesemestaan. Akal yang diwakili area asosiasi dan lobus frontalis beserta girus presentralis di otaknya akan mengkoordinasi peran batang otak dan sistem limbik yang mengawal proses pertahanan diri. Bila proses pengawalan ini tercederai oleh peristiwa yang tidak dapat ditoleransi akal sehat, maka kita menjadi marah. Pada saat marah itulah terjadi peningkatan aktivitas hormon otak dan hormon anak ginjal. Seluruh metabolisme kita meningkat dan siap untuk melaksanakan aksi-aksi yang melibatkan fisik, mental serta pikiran.

Karena itu, ketika kita marah dalam kondisi berdiri, maka duduklah. Ketika sedang, duduk berbaringlah. Hal ini dapat ditafsirkan melalui dua pendekatan. Pertama, secara postural atau kondisi fisiologis posisi tubuh. Seorang yang ketika marah sedang dalam posisi berdiri tentu memerlukan energi pemompaan darah ekstra agar aliran darah dapat mencapai otak dengan optimal. Semakin berkurang asupan oksigen yang dibawa darah ke otak, akan semakin sulit seseorang mengaktifkan sistem pengendalian dirinya. Mengingat sistem pengendalian diri itu terletak di bagian otak sebelah depan atas. Demikian pula ketika kita duduk, masih ada efek gravitasi yang harus kita lawan. Sedangkan bila kita berbaring maka aliran darah menuju otak akan sama baiknya dengan yang didistribusikan ke seluruh tubuh. Inilah tips praktis dari Rasulullah Saw. untuk mengelola marah.

Manajemen marah yang kedua dapat ditafsirkan sebagai proses pengelolaan ekspresi secara sistematis dan komprehensif. Marah kita haruslah memiliki visi misi yang jelas. Serta disampaikan melalui cara komunikasi dan media yang tepat.

Marah yang sesuai fitrah harus pula mengedepankan fungsi iqra, dimana setiap proses marah ada tujuan obyektifnya. Sangat baik ketika kita memasuki fase marah, kita telah memiliki "tabel panduan". Tabel bisa berisi ringkasan pokok pikiran tentang akar masalah yang menimbulkan kemarahan. Hal berikutnya disebut " angry issues". Apa tujuannya membuat isu-isu marah ini? Agar kita tidak keluar "jalur" ketika sedang marah. Sekaligus isu ini akan menjadi panduan rasional dalam menata akal kita agar tidak terjebak dalam "hasutan" batang otak untuk sekedar melampiaskan dendam.

Marah yang sarat dendam disebut amarah. Marah jenis ini cenderung menyakiti. Kata-kata dan perbuatan yang dipilih diwarnai hormon adrenalin yang akan mendorong proses penistaan dan melahirkan kepuasan melalui sederet kebencian. Marah ini akan memanipulasi hormon skotofobin atau hormon takut pada obyek kemarahannya. Inilah salah satu pintu masuk dari tujuh pintu neraka jahanam.

 Redam dengan zikir
Zikir sangat efektif meredam marah dan membuat hati menjadi tenang. Dengan zikir dan memilih proses marah yang tepat, marah kita akan diwarnai hormon serotonin dan endorfin serta feniletilamin, alias hormon sabar, bahagia, dan sayang. Kapan kelompok hormon ini dapat dioptimasi sempurna? Bagi ahli shalat, proses ini dapat berlangsung setiap saat. Namun bagi kita yang baru"belajar" shalat, maka waktu idealnya adalah bada shalat Asar sampai menjelang Maghrib.

Pada saat itu tirani batang otak dan anak ginjal dengan adrenalin dan kortisolnya mencapai titik balik penurunan. Bila semula dari pagi sampai siang hari mereka mendominasi, maka di sore hari saat matahari mulai terbenam kelompok hormon nafsu ini mengendur aktivitasnya. Kita tidak lagi terbelenggu oleh konsep "keakuan" yang kental dan merasa "ketakutan" bila harga diri kita ternodai pihak lain. Kesadaran kita pun akan naik.

Cobalah perhatikan lebah. Mereka dapat mengendus nektar bunga dari jarak 1,5 kilometer berdasar pada panduan matahari dan feromon (molekul bau) yang dipancarkan bunga. Dan mereka dapat pulang ke sarang dengan tepat di sore hari dengan berdasar pada molekul cinta sang ratu. Sore hari sensitivitas terhadap cinta dan kasih sayang menjadi jauh lebih kuat ketimbang pagi dan siang hari.

Demikian pula yang terjadi pada manusia, bila kita mencintai sesuatu di pagi dan siang hari maka kecenderungan yang akan terjadi adalah "melindungi" kepentingan diri sendiri. Inilah yang disebut dengan "cemburu". Bila marah dijiwai semangat cemburu, tentu marahnya hanya akan mendatangkan "perang". Maka tak heran ketika kita marah, seolah kita mempertontonkan "kekuasaan" dan "ketakmaukalahan". Inilah marah yang disebut "mau menangnya sendiri".


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=271333&kat_id=105