Rabu, 28 November 2007

Fwd: [Republika Online] Agar Marah Sesuai Fitrah



10 Nopember 2006
Agar Marah Sesuai Fitrah

Marah yang sarat dendam disebut amarah. Marah jenis ini cenderung menyakiti. Kata-kata dan perbuatan yang dipilih diwarnai hormon adrenalin yang mendorong proses penistaan dan melahirkan kepuasan melalui sederet kebencian.

Setiap orang pasti pernah marah. Itu normal. Namun menjadi tidak normal bila marah menjadi bencana bagi banyak orang. Apa sih marah itu? Menurut Dr. Finch--seorang psikiater dari Yale University--marah adalah sebuah bentuk ekspresi diri yang sehat, berupa ketidakpuasan terhadap keadaan.

Secara psikologis marah termasuk reaksi pertahanan diri dan ekspresi dari kecenderungan manusia untuk berbuat baik dan bijak (hanif). Sejak di dalam rahim seorang manusia telah belajar mengembangkan konsep diri. Semua manusia tahu apa yang dibutuhkannya dan apa yang "seharusnya" mereka dapatkan untuk hidup. Fenomena marah dapat terjadi bila salah satu persyaratan hidup seorang manusia terganggu.

Pada perkembangan selanjutnya marah berkembang menjadi sebuah cerminan tanggung jawab. Kita marah bila ada sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengapa tanggung jawab? Dalam Islam tanggung jawab identik dengan amanah. Amanah bagi seorang manusia Muslim adalah jati diri sekaligus penentu kehadiran kita di dunia ini.

Diri seorang manusia Muslim adalah "peace keeper", penjaga perdamaian dan regulator sekaligus eksekutor, dan korektor bagi sistem kesemestaan. Akal yang diwakili area asosiasi dan lobus frontalis beserta girus presentralis di otaknya akan mengkoordinasi peran batang otak dan sistem limbik yang mengawal proses pertahanan diri. Bila proses pengawalan ini tercederai oleh peristiwa yang tidak dapat ditoleransi akal sehat, maka kita menjadi marah. Pada saat marah itulah terjadi peningkatan aktivitas hormon otak dan hormon anak ginjal. Seluruh metabolisme kita meningkat dan siap untuk melaksanakan aksi-aksi yang melibatkan fisik, mental serta pikiran.

Karena itu, ketika kita marah dalam kondisi berdiri, maka duduklah. Ketika sedang, duduk berbaringlah. Hal ini dapat ditafsirkan melalui dua pendekatan. Pertama, secara postural atau kondisi fisiologis posisi tubuh. Seorang yang ketika marah sedang dalam posisi berdiri tentu memerlukan energi pemompaan darah ekstra agar aliran darah dapat mencapai otak dengan optimal. Semakin berkurang asupan oksigen yang dibawa darah ke otak, akan semakin sulit seseorang mengaktifkan sistem pengendalian dirinya. Mengingat sistem pengendalian diri itu terletak di bagian otak sebelah depan atas. Demikian pula ketika kita duduk, masih ada efek gravitasi yang harus kita lawan. Sedangkan bila kita berbaring maka aliran darah menuju otak akan sama baiknya dengan yang didistribusikan ke seluruh tubuh. Inilah tips praktis dari Rasulullah Saw. untuk mengelola marah.

Manajemen marah yang kedua dapat ditafsirkan sebagai proses pengelolaan ekspresi secara sistematis dan komprehensif. Marah kita haruslah memiliki visi misi yang jelas. Serta disampaikan melalui cara komunikasi dan media yang tepat.

Marah yang sesuai fitrah harus pula mengedepankan fungsi iqra, dimana setiap proses marah ada tujuan obyektifnya. Sangat baik ketika kita memasuki fase marah, kita telah memiliki "tabel panduan". Tabel bisa berisi ringkasan pokok pikiran tentang akar masalah yang menimbulkan kemarahan. Hal berikutnya disebut " angry issues". Apa tujuannya membuat isu-isu marah ini? Agar kita tidak keluar "jalur" ketika sedang marah. Sekaligus isu ini akan menjadi panduan rasional dalam menata akal kita agar tidak terjebak dalam "hasutan" batang otak untuk sekedar melampiaskan dendam.

Marah yang sarat dendam disebut amarah. Marah jenis ini cenderung menyakiti. Kata-kata dan perbuatan yang dipilih diwarnai hormon adrenalin yang akan mendorong proses penistaan dan melahirkan kepuasan melalui sederet kebencian. Marah ini akan memanipulasi hormon skotofobin atau hormon takut pada obyek kemarahannya. Inilah salah satu pintu masuk dari tujuh pintu neraka jahanam.

 Redam dengan zikir
Zikir sangat efektif meredam marah dan membuat hati menjadi tenang. Dengan zikir dan memilih proses marah yang tepat, marah kita akan diwarnai hormon serotonin dan endorfin serta feniletilamin, alias hormon sabar, bahagia, dan sayang. Kapan kelompok hormon ini dapat dioptimasi sempurna? Bagi ahli shalat, proses ini dapat berlangsung setiap saat. Namun bagi kita yang baru"belajar" shalat, maka waktu idealnya adalah bada shalat Asar sampai menjelang Maghrib.

Pada saat itu tirani batang otak dan anak ginjal dengan adrenalin dan kortisolnya mencapai titik balik penurunan. Bila semula dari pagi sampai siang hari mereka mendominasi, maka di sore hari saat matahari mulai terbenam kelompok hormon nafsu ini mengendur aktivitasnya. Kita tidak lagi terbelenggu oleh konsep "keakuan" yang kental dan merasa "ketakutan" bila harga diri kita ternodai pihak lain. Kesadaran kita pun akan naik.

Cobalah perhatikan lebah. Mereka dapat mengendus nektar bunga dari jarak 1,5 kilometer berdasar pada panduan matahari dan feromon (molekul bau) yang dipancarkan bunga. Dan mereka dapat pulang ke sarang dengan tepat di sore hari dengan berdasar pada molekul cinta sang ratu. Sore hari sensitivitas terhadap cinta dan kasih sayang menjadi jauh lebih kuat ketimbang pagi dan siang hari.

Demikian pula yang terjadi pada manusia, bila kita mencintai sesuatu di pagi dan siang hari maka kecenderungan yang akan terjadi adalah "melindungi" kepentingan diri sendiri. Inilah yang disebut dengan "cemburu". Bila marah dijiwai semangat cemburu, tentu marahnya hanya akan mendatangkan "perang". Maka tak heran ketika kita marah, seolah kita mempertontonkan "kekuasaan" dan "ketakmaukalahan". Inilah marah yang disebut "mau menangnya sendiri".


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=271333&kat_id=105